BREAKING NEWS

Sabtu, 20 Mei 2017

Menteri Yohana: Fasilitas Mudik Bagi Penyandang Disabilitas Masih Kurang

JAKARTA -- Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yembise, mengatakan ketersediaan fasilitas mudik bagi penyandang disabilitas masih kurang.
Yohana pun mengingatkan agar pengelola stasiun dan terminal mau membenahi fasilitas ruang menyusui atau laktasi untuk ibu dan anak.

"Dari hasil evaluasi kunjungan ke Terminal Pulogadung dan Stasiun Senen, fasilitas kesehatan dan ruang laktasi umumnya cukup baik. Hanya saja, tambahan fasilitas bagi kaum difabel masih perlu ditingkatkan," ujar Yohana kepada wartawan di Stasiun Senen, Jakarta Pusat, Senin (4/7).

Fasilitas yang dimaksud antara lain ruang tunggu dan fasilitas pendukung yang disediakan khusus bagi penyandang disabilitas.
Selain itu, Yohana pun menyarankan penambahan tenaga medis di setiap posko kesehatan pemudik, baik di stasiun maupun terminal. "Minimal ada satu dokter dan tenaga medis yang bertanggung jawab menjaga posko," lanjut dia.

Terkait fasilitas untuk perempuan dan anak, Yohana menyatakan perlu ada penambahan fasilitas di ruang laktasi dan pembuatan ruang bermain anak. Keberadaan ruang bermain penting agar anak tidak jenuh saat menunggu keberangkatan kereta atau bus.

Pertuni Tingkatkan Akses Penyandang Tunanetra ke Perguruan Tinggi

MALANG -- Persatuan Tuna Netra Indonesia (Pertuni) terus berupaya meningkatkan akses bagi penyandang tunanetra agar bisa mengenyam bangku perguruan tinggi. Berdasarkan catatan Pertuni, dalam satu dekade terakhir jumlah penyandang tunanetra yang bisa menempuh pendidikan tinggi meningkat 30 persen.
Ketua Umum Pertuni,Aria Indrawati menerangkan, pada 2015 penyandang tunanetra yang bisa kuliah sebanyak 250 orang. "Data terakhir tahun lalu angkanya sudah meningkat 30 persen menjadi sekitar 400 orang lebih," ungkapnya ketika ditemui Republika.co.id belum lama ini.
Peningkatan ini tak lepas dari langkah Pertuni yang menggulirkan program University Preparation Training sejak 2006. Program ini menyasar penyandang tunanetra yang ada di bangku SMA/SMK. "Kita beri wawasan kepada mereka bahwa banyak jurusan yang bisa ditempuh di perguruan tinggi," imbuh wanita yang juga konselor di Yayasan Mitra Netra ini.
Penyandang tunanetra mayoritas mengambil jurusan pendidikan luar biasa di perguruan tinggi. Padahal, jurusan lain seperti hukum dan sastra juga memungkinkan untuk dipilih. Aria, yang menderita gangguan mata low vision, telah membuktikannya dengan lulus dari fakultas hukum sebuah universitas swasta di Semarang.
Selain bimbingan, dukungan dari keluarga dan teman-teman juga sangat berpengaruh terhadap antusiasme tunanetra melanjutkan ke pendidikan tinggi. Hal lain yang tak kalah penting adalah dukungan pemerintah dalam menyediakan fasilitas pendidikan inklusif.
Saat ini di Indonesia terdapat 24 perguruan tinggi yang menerima mahasiswa penyandang difabel termasuk tunanetra. Namun itu saja belum cukup. Jumlah perguruan tinggi perlu ditambah demikian pula dengan sekolah menengah inklusi.
Menurutnya tunanetra punya ketakutan tersendiri jika ingin melanjutkan kuliah. "Mereka rata-rata lulusan SLB yang materi pelajarannya berbeda dengan SMA/SMK umum, makanya kesulitan untuk bisa mencapai passing grade masuk perguruan tinggi seperti lulusan sekolah reguler," imbuhnya.
Pemerintah Indonesia dinilai belum membangun sistem pendidikan inklusi yang mendukung proses pembelajaran kaum difabel. "Di Jakarta ada peraturan gubernur yang mengharuskan semua sekolah menerima difabel tapi infrastruktur seperti buku khusus difabel masih sulit dijangkau," ungkap Aria.

BRI Siapkan KUR Mikro Bagi Penyandang Disabilitas


PALEMBANG -- PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) Palembang berkomitmen siap memberikan sokongan bagi para penyandang disabilitas agar menjadikan mereka lebih produktif lewat modal usaha.
Dimana, Kepala Kanwil BRI Palembang, Edy Priyono menyampaikan penyandang disabilitas bisa mendapatkan pinjaman kredit melalui porsi KUR Mikro di BRI.
"Rata-rata mereka tidak punya anggunan, makanya porsi KUR Mikro kita jadikan langkah awal. Sebenarnya porsi untuk penyandang disabilitas sudah ada tapi kuotanya belum banyak, karena keterbatasan tidak fenafel tapi fleksibel," jelasnya,
Guna merangsang penyandang disabilitas jadi lebih produktif, BRI Kanwil Palembang melalui Yayasan Baitul Mall BRI, memberikan bantuan berupa satu set alat musik, seperangkat mesin jahit, dan kaki & tangan Palsu bagi para disabilitas se Kota Palembang. Dengan total nominal bantuan sebesar Rp 278 juta.
"Bantuan ini sifatnya hibah, kita harapkan bantuan ini dapat bisa merangsang bagi penyandang disabilitas dalam meningkatkan kapasitas kemampuan untuk usaha produktif. Dimana nantinya bisa jadi usaha mandiri," ungkapnya.
Edy yang dalam acara penyerahan bantuan dalam program BRI Cinta Diasbilitas, Kamis (4/5) turut berkolaborasi dengan mendendangkan lagu yang diiringi oleh Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) Sumsel.
"Saya kagum atas semangat penyandang disabilitas tersebut, dengan kondisi keterbatasan masih berusaha untuk berkarya meskipun kadang minder. Nilai bantuan tak seberapa tapi ini kewajiban kami untuk bisa berbagi pada mereka," pungkasnya.

Semangat Penyandang Tunanetra Kejar Cita-Cita Menjadi Diplomat


DEPOK – Pada Selasa 16 Mei 2017, seleksi bersama masuk perguruan tinggi negeri (SBMPTN) 2017 telah diikuti oleh 797.023 peserta secara serentak se-Indonesia. Dari angka tersebut, tercatat sebanyak 263 orang merupakan perserta berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas. Meski memiliki keterbatasan secara fisik, semangat mereka tetap menggebu demi masuk perguruan tinggi negeri (PTN) serta meraih cita-citanya.
Salah satu peserta berkebutuhan khusus adalah Abizar Giffari (21). Bertolak dari kediamannya di Kawasan Cengkareng, Jakarta Barat, sejak pukul 06.00 WIB, Abizar tampak bersemangat menjalani SBMPTN di Kampus Universitas Indonesia (UI), Kota Depok, Jawa Barat. Terlebih dalam ujian tersebut, penyandang tunanetra ini ditemani oleh sang ibunda, kakek, dan seorang adik.

Kepada Okezone.com, Abizar bercerita mengenai persiapan sebelum mengikuti SBMPTN tersebut. Selain berdoa, penggemar anime Jepang ini terus mempelajari materi SBMPTN serta belajar mobilitas menggunakan tongkat di sebuah yayasan tunanetra di kawasan Jakarta Selatan.
"Persiapan khusus tidak ada. Hanya saja belajar makin ditingkatkan dan tidak lupa berdoa," ujar Abizar ditemui di Gedung Fakultas Hukum, Kampus UI.
Dalam SBMPTN kali ini, Abizar memilih dua program sarjana, yakni hubungan internasional dan sastra Jepang. Tak sekadar memilih, cita-cita Abizar sangat mulia meski memiliki keterbatasan fisik ketimbang calon mahasiswa lainnya.
"Saya pilih jurusan itu karena bercita-cita kelak bekerja di Kedutaan Besar Jepang untuk Indonesia. Karena saya ingin memajukan tunanetra dengan adanya kerjasama antara Indonesia dengan Jepang," jelas cowok yang hobi bermain musik ini.
Cita-cita tersebut makin diperkuatnya dengan kemampuan Abizar menguasai sejumlah bahasa asing. Selain Jepang, ia bisa berbahasa Prancis, Jerman, serta Korea.
"Kalau tidak jadi diplomat, ya jadi penerjemahlah," kata pria yang juga mengajar sebagai guru bahasa Jepang di SMA Negeri 85 Jakarta.
Abizar sendiri diagnosis menderita Ablasi Retina hingga menyebabkan kebutaan sejak duduk di bangku SMP atau saat umur 15 tahun. Ablasi retina merupakan lepasnya retina dari jaringan penopangnya. Ablasi retina bisa disebabkan karena proses degenerasi ataupun karena cedera atau peradangan. (ira)
(sus)

Tekad Doktor Tunanetra Majukan Pendidikan Indonesia

JAKARTA - Menjadi guru sudah menjadi cita-cita Dr Didi Tarsidi sejak masih kecil. Bahkan, kehilangan penglihatan yang dialaminya ketika berusia lima tahun tidak menjadi penghalang untuk mewujudkan impiannya.
"Sejak kecil orangtua saya sudah menanamkan bahwa guru itu adalah pekerjaan yang penting, terhormat, dan itu tertanam pada diri saya," ucapnya dilansir dari video unggahan Sumber Daya Iptek Dikti Kemristekdikti, Jumat (12/5/2017).

Didi Tarsidi memperoleh gelar Doktor Pendidikan pada 2008 di Sekolah Pascasarjana (SPs) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung lewat Program Studi Bimbingan Konseling. Selama menjadi dosen, dia mengaku mengajar dengan menggunakan teknologi, seperti komputer dan LCD.
"Di dalam mengajar saya berusaha untuk mengajar sebaik mungkin yang dibantu oleh teknologi komputer sehingga saya bisa menggunakan LCD seperti dosen-dosen lainnya. Saya bisa mendapatkan materi ajar yang tepat yang bermakna bagi mahasiswa dan saya dapat mengakses materi itu dengan teknologi juga," paparnya.
Bagi pria kelahiran 1 Juni 1951 itu, pendidikan merupakan alat untuk membuat orang menjadi dewasa, mandiri, dan bertanggung jawab. Didi pun mengungkapkan bahwa peran dosen tak sebatas meluluskan mahasiswa, tetapi juga melakukan pengabdian kepada masyarakat.
"Dosen itu bagian dari masyarakat. Oleh sebab itu, harus berkontribusi terhadap pengembangan masyarakat. Ilmu itu akan berkembang ketika didukung oleh penelitian dan penelitian itu akan lebih bermakna ketika diabdikan kepada mahasiswa dan masyarakat," tuturnya.
Kiprah Didi dalam memajukan dunia pendidikan diwujudkan pada 2003, yakni ketika dia bersama empat dosen UPI lainnya dikirim ke Norwegia untuk studi banding implementasi pendidikan inklusif dan pelaksanaan Program Magister Pendidikan Kebutuhan Khusus di Universitas Oslo. Kunjungan itu menjadi cikal bakal pembukaan Program Studi Pendidikan Kebutuhan Khusus dan Inklusi di SPs UPI.
Didi Tarsidi juga menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni) pada 2004-2009 dan sebagai Vice President World Blind Union Asia-Pasific pada 2004-2008. Sementara jurnal dan makalah yang dihasilkan telah banyak dipublikasikan dan dipresentasikan di berbagai negara.
"Keberhasilan saya di dalam pengajaran itu terbukti dengan pengakuan dari UPI. Pada 2013 saya dinobatkan sebagai dosen berprestasi tingkat satu dan mendapat hadiah umrah pada 2014. Hal itu sangat membahagiakan bagi saya," tukasnya. (ira)
(sus)
 
Copyright © 2014 PERTUNI

Powered by Themes24x7